BdBK-05


BUNGA DI BATU KARANG

JILID 5

kembali | lanjut

BdBK-05MANDRA berpaling. Ketika ia melihat Raden Rudira. maka ia pun segera berkata, “Tuan. Cucunguk itu datang kemari”

“Siapa?”

“Sura dan Dipanala”

“Sura dan Dipanala?” Raden Rudira terkejut.

“Itulah mereka”

Raden Rudira memandang ke dalam keremangan cahaya lampu yang sayup-sayup saja sampai. Tetapi ia pun segera mengenal mereka berdua. Mereka benar-benar Sura dan Dipanala.

Terdengar Raden Rudira menggeretakkan giginya. Lalu tiba-tiba keluar perintahnya sebelum ia sempat berpikir, “Kepung mereka. Jangan sampai keduanya dapat lari dari halaman ini. Ikat mereka pada pohon sawo di halaman depan. Kita akan menunjukkan kepada semua abdi dan pengawal, bahwa yang terjadi adalah akibat dari pengkhianatan mereka”

Sejenak para pengawal menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Mandra mendahului melangkah mendekati Sura. maka yang lain pun segera mengikutinya.

“Jangan melawan Sura” bisik Dipanala.

“Apakah aku akan membiarkan diriku mati dengan sia-sia”

“Apakah kau masih percaya kepadaku?”

Sura merenung sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ya. Aku masih percaya kepada Ki Dipanala”

“Jika kau masih percaya kepadaku, jangan melawan. Aku masih mengharap bahwa kita tidak akan mati sambil terikat”

“Aku tidak mau mati dengan tangan terikat. Aku ingin mati dengan pedang di tangan”

“Percayalah kepadaku”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu orang-orang yang mengepungnya menjadi semakin rapat. Namun Sura tidak berbuat apa-apa seperti juga Dipanala.

“Tangkap mereka. Jika mereka melawan, patahkan tangannya” teriak Raden Rudira.

Ki Dipanala memandanginya sejenak, lalu jawabnya, “Kami tidak akan melawan”

“Bagus. Jika demikian ikat tangan mereka pada pohon sawo di halaman depan”

Terdengar gigi Sura yang gemeretak. Tetapi ia tidak melawan seperti yang dinasehatkan Ki Dipanala, meskipun sebenarnya hatinya tidak mau menerima perlakuan itu.

Dengan kasarnya Mandra mendorongnya dan kemudian beberapa orang mengikat tangannya dan menyeretnya ke sebatang pohon sawo di halaman depan.

“Tutup pintu regol. Jangan seorang pun yang diperbolehkan masuk” berkata Raden Rudira dengan lantang.

Para penjaga di regol halaman, segera menutup pintu yang sudah tertutup itu menjadi semakin rapat dan memalangnya kuat-kuat.

“Aku curiga, bahwa sebenarnya Sura tidak datang hanya berdua saja. Awasi semua sudut”

Mandra mengerutkan keningnya, lalu berkata kepada kawan-kawannya, “Benar juga. Mungkin mereka tidak hanya berdua saja. Awasi semua sudut”

Beberapa orang pun segera memencar. Di dalam keremangan mereka mengawasi dinding-dinding halaman Dalem Ranakusuman. Mereka memperhatikan setiap desir dan setiap gerak. Tetapi tidak ada seorang pun yang mereka jumpai. Meskipun demikian mereka tetap Di tempatnya masing-masing.

“Kau akan tetap terikat sampai besok Ki Dipanala” berkata Rudira, “dan kau Sura, barangkali nasibmu akan lebih jelek lagi”

Sura memandang Ki Dipanala sejenak, namun tampaknya wajah orang itu masih tetap tenang-tenang saja.

Tetapi ketenangan Dipanala agaknya membuat hati Rudira semakin panas, sehingga ia pun kemudian berteriak, “Nasibmu pun tidak perlu kau sesali. Besok, jika matahari naik sampai ke ujung pepohonan, semua abdi dari istana ini akan berkumpul di halaman dan menyaksikan bagaimana aku memukul kalian dengan rotan sampai tubuh kalian tidak berbentuk. Setelah itu aku akan melemparkan kalian keluar regol halaman rumah ini untuk selamanya”

Dipanala tidak menyahut sama sekali. Tetapi wajahnya masih tetap tenang dan seakan-akan yakin, bahwa tidak akan pernah terjadi sesuatu atas dirinya.

Ternyata keributan dan teriakan-teriakan Raden Rudira telah membangunkan seisi istana itu. Bahkan Pangeran Ranakusuma yang telah nyenyak pun terbangun pula.

Sambil bangkit dari pembaringannya ia berdesah, “Apalagi yang dilakukan anak itu”

Dengan wajah yang kusut Pangeran Ranakusuma keluar dari biliknya dan memukul sebuah bende kecil di sisi pintu biliknya.

Seorang pelayan dalam berlari-lari kecil mendekatinya. Beberapa langkah di hadapan Pangeran Ranakusuma pelayan itu pun segera berjongkok sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Ada apa di luar?” Pangeran Ranakusuma bertanya.

“Raden Rudira sedang marah tuan”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia berpaling ketika didengarnya suara isterinya, Raden Ayu Galihwarit, “Siapakah yang kali ini dimarahinya?”

“Menurut pendengaran hamba, agaknya Raden Rudira marah-marah kepada Sura dan Ki Dipanala”

“He?” Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Tetapi yang bertanya lebih dahulu adalah Raden Ayu Sontrang, “Maksudmu Ki Dipanala abdi Ranakusuman ini?”

“Hamba dengar demikian”

Sejenak Raden Ayu Galihwarit menjadi tegang. Tetapi ia pun berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya.

“Dimanakah mereka sekarang?”

“Di halaman depan tuan”

Pangeran Ranakusuma termenung sejenak. Lalu ia bertanya kepada isterinya, “Apakah ia mengatakan sesuatu tentang kedua orang itu?”

“Ya kangmas. Ia merasa dikhianati oleh keduanya. Ia tidak berhasil mengambil gadis Jati Aking itu”

“Gadis Jati Aking? Siapa?”

“Anak Danatirta”

“He” Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya, “Jadi Rudira ingin mengambil anak gadis Danatirta?”

“Ya kangmas. Aku memang memerlukan seorang pelayan untuk menjediakan kinangan dan botekan, khusus buatku”

“Tetapi kenapa anak Danatirta? Aku sudah menitipkan Juwiring di padepokan itu, dan sekarang Rudira ingin mengambil anaknya”

“Apakah salahnya?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tidak. Aku tidak boleh membiarkannya. Keluarga kita tidak boleh menyakiti hatinya. Aku yakin, bahwa Danatirta tentu keberatan memberikan anaknya itu, dan Rudira tidak boleh memaksanya”

“Tetapi itu dapat berarti menurunkan martabat kita kangmas”

“Kenapa?”

“Akan menjadi kebiasaan seorang rakyat kecil menolak perintah seorang bangsawan, apalagi seorang Pangeran seperti kangmas Ranakusuma”

“Tetapi perintah itu sama sekali tidak wajar”

“Kenapa tidak? Bukankah sudah menjadi kebiasaan seorang bangsawan untuk mengambil seorang perempuan yang disukainya?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah karena ia pernah melakukannya, dan isterinya itu pun mengetahuinya pula. Namun demikian, ia masih berkata, “Tetapi Danatirta adalah seorang yang mengasuh anakku pula”

“Ah, kangmas masih selalu memikirkannya. Kangmas masih selalu memperhitungkan anak itu, sedangkan yang sekarang menghadapi persoalan adalah Rudira, Putera kangmas pula”

Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-mangu. Setiap kali ia dihadapkan pada persoalan yang rumit. Dan kali ini, ia berdiri di simpang jalan yang sangat membingungkan.

Selagi ia termangu-mangu, maka Raden Rudira pun berjalan bergegas masuk ke ruang tengah dan langsung ke pintu bilik ayahandanya yang terbuka, sedang ayah dan ibunya masih berdiri di muka pintu dihadap seorang pelayan.

“Ayahanda masih belum tidur?”

“Aku terkejut mendengar kau berteriak-teriak di halaman, aku baru bertanya apa yang sudah terjadi”

“Aku telah menangkap Sura dan Ki Dipanala, keduanya aku ikat pada pohon sawo kecik di halaman untuk menjadi pengewan-ewan”

“Rudira” hampir berbareng ayah dan ibunya memotong. Namun hanya ayahnyalah yang melanjutkannya, “Kau akan menghukum mereka?”

“Ya ayahanda. Aku akan menghukum keduanya”

Wajah Ranakusuma menjadi tegang sejenak. Tanpa disadarinya ia berpaling memandang wajah Raden Ayu Galihwarit. Ternyata wajah itu pun menegang pula.

“Rudira” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Sura dan Dipanala adalah abdi-abdi Ranakusuman yang telah bertahun. Karena itu, setiap hukuman bagi mereka harus dipertimbangkan sebaik-baiknya”

“Aku sudah mempertimbangkan ayahanda. Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat yang harus dihukum. Mereka telah menghina aku sebagai seorang putera Pangeran. Keduanya telah mencegah keinginanku mengambil seorang gadis dari padepokan Jati Aking. Mereka sama sekali tidak berhak berbuat demikian ayah”

Pangeran Ranakusuma merenung sejenak. Dan sebelum ia menyahut. Raden Ayu Sontrang sudah mendahuluinya, “Jangan berbuat sewenang-wenang terhadap keduanya Rudira. Terutama Ki Dipanala”

“Kenapa dengan Ki Dipanala?” bertanya Rudira, “Ia tidak ada bedanya dengan abdi yang lain, sehingga karena itu, maka ia pun wajib mendapat perlakuan yang sama seperti Sura”

Sejenak ayah dan ibu Rudira itu termenung. Namun kegelisahan yang sangat telah membayang di wajah mereka. Karena itu, tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma berkata, “Aku ingin melihat mereka”

“Tidak usah sekarang ayahanda. Biarlah mereka merasakan betapa dinginnya sisa malam ini”

“Mereka tidak akan kedinginan karena hatinya yang panas”

“Jika demikian, biarlah mereka merasakan panasnya sengatan rotan di punggung mereka besok siang”

“Jangan kehilangan keseimbangan Rudira. Aku memerlukan Dipanala”

“Ya” sambung Raden Ayu Galihwarit, “Setidak-tidaknya Dipanala harus mendapat pertimbangan lebih banyak”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan di dalam hatinya, apakah Raden Ayu Sontrang juga mempunyai kepentingan dengan Dipanala seperti dirinya?

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak bertanya kepada isterinya. Kepada pelayan dalam ia berkata, “Antarkan aku ke halaman depan”

“Ayahanda” Raden Rudira berusaha mencegah, “biarkan mereka terikat sampai besok menjelang tengah hari. Biarlah mereka sekarang kedinginan, dan besok kepanasan”

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak menjawab. Ia melangkah diikuti oleh Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira. Di belakang mereka adalah pelayan dalam yang mendapat perintah untuk mengikutinya pula.

“Aku masih memerlukan Dipanala”

“Ya” sahut Raden Ayu Sontrang, “Kau harus melepaskan Dipanala, Rudira”

“Apakah yang lain pada Dipanala? Kenapa ayahanda agak terikat kepadanya?”

Ayahnya tidak menyahut. Tetapi jantung Raden Ayu Galihwarit pun menjadi berdebar-debar. Jika Rudira bertanya demikian kepadanya maka ia akan mengalami kesulitan untuk mencari jawabnya. Untunglah bahwa Rudira tidak bertanya kepadanya.

Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak menjawab pertanyaan Raden Rudira. Pelayan dalam itu bergegas membuka pintu samping ketika Pangeran Ranakusuma berkenan melalui pintu yang sudah ditutup rapat itu.

Seusap angin malam yang berhembus dari Selatan telah membuat Pangeran Ranakusuma berdesis. Tetapi ketegangan di dalam hatinya membuatnya seolah-olah sama sekali tidak kedinginan. Bahkan beberapa titik keringat telah mengembun di dahinya.

Kedatangan Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira membuat Sura menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak mengerti, kenapa justru Ki Dipanala tersenyum karenanya. Senyum yang sama sekali tidak dapat dibaca maknanya.

Beberapa orang prajurit yang ada di halaman itu pun segera berjongkok. Berbagai pertanyaan telah timbul di dalam hati mereka. Apakah Pangeran Ranakusuma tidak sabar menunggu sampai besok?.

Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma sudah berdiri di hadapan Ki Dipanala. Dengan tajamnya ia memandang orang yang terikat itu. Namun sejenak kemudian, ia berpaling kepada Sura.

Dan pertanyaan yang pertama-tama diberikan adalah justru kepada Sura, “Sura, apakah benar kau sudah berkhianat?”

“Bukan maksud hamba berkhianat Pangeran” jawab Sura terbata-bata.

“Jadi apakah maksudmu?”

“Hamba sekedar mulai berpikir dan menilai perbuatan-perbuatan hamba sendiri”

“Apakah selama ini kau tidak pernah memikirkan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakanmu?”

Sura menggelengkan kepalanya, “Tidak tuan. Selama ini hamba tidak memikirkan perbuatan hamba”

“Untuk apa sebenarnya kau mengabdikan dirimu, sehingga kau kehilangan kepribadianmu?”

Sura menundukkan kepalanya. Pertanyaan itu telah membelit hatinya kuat-kuat.

“Ya. untuk apa?” Ia bertanya kepada diri sendiri.

Dan tiba-tiba saja ia menemukan jawab, “Hamba ingin membuat keluarga, anak dan isteri hamba hidup agak baik tuan. Hamba telah menjual kepribadian hamba untuk itu”

“Bukankah keputusan yang kau ambil itu juga hasil pemikiran? Apakah dengan demikian, bukan sebaliknya yang terjadi, bahwa justru sekaranglah kau telah kehilangan kesempatan untuk berpikir? Untuk memikirkan keluargamu? Apakah dengan demikian, justru baru sekarang kau telah kehilangan arti dari dirimu sendiri? Kau memiliki kemampuan yang disertakan alam sejak kelahiranmu, dan kau dapat mempergunakannya sebaik-baiknya atas pertimbangan nalar untuk kesejahteraan keluargamu”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ampun tuan. Jika hamba memandang dari segi itu, agaknya memang demikian. Hamba sudah kehilangan arti dari kemampuan yang hamba miliki bagi keluarga hamba. Tetapi pengenalan arti yang hamba maksudkan adalah pengenalan atas baik dan buruk, atas kebenaran yang kesesatan”

“O” Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kau mulai berguru olah kajiwan. Apakah kau ikut serta dengan Juwiring belajar pada Kiai Danatirta? Atau tiba-tiba saja kau mendapat ilham yang mengajarmu tentang baik dan buruk dan tentang kebenaran dan kesesatan?”

“Ampun Pangeran. Hamba tidak mempelajarinya dari Kiai Danatirta. Tetapi hamba mempelajari dari jalan hidup hamba sendiri. Meskipun pengenalan atas baik dan buruk itu ada sejak aku sadar akan diriku di masa kanak-kanak, tetapi pengakuan dan penghayatan nya itulah yang seakan-akan telah membuat aku manusia yang lahir kembali sekarang ini”

“He, darimana kau belajar menyusun pembelaan ini? Kau memang mengagumkan Sura. Aku kira kau tidak pernah belajar apapun juga, dan tidak mempelajari ilmu kajiwan dan pandangan hidup. Tetapi kau dapat menyebut kalimat-kalimat yang bernafas kajiwan. Bahkan aku telah mengagumi kata-katamu”

Sura menunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Menurut pengertiannya, tiba-tiba saja ia menyadarinya. Dan ia tidak dapat menyebutkan sumber yang manakah yang telah mengaliri hatinya, sehingga ia mampu mengucapkan kata-kata itu.

“Sura” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Sayang, bahwa justru pengalamanmu atas dirimu sendiri itulah yang membuatmu telah berkhianat. Berkhianat kepada bendara dan berkhianat kepada kesadaranmu berkeluarga. Jika kau dihukum karenanya, maka keluargamu pasti akan terlantar”

Dada Sura menjadi berdebar-debar. Sekilas ia memandang wajah Ki Dipanala yang masih terikat. Tetapi wajah itu masih tetap tenang dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa atasnya.

“Apakah justru Ki Dipanala ini sekedar berpura-pura untuk menjebakku. Kemudian ia akan terlepas dari semua tanggung jawab yang mereka tuduhkan pengkhianatan ini?”

“Sura” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Kau adalah abdi yang sudah lama. Lama sekali. Tetapi sekarang kau dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa kau terpaksa mendapat hukuman. Sudah barang tentu bahwa itu adalah sekedar akibat dari kekeliruanmu”

Sura sama sekali tidak menjawab.

“Tetapi kau memang seorang laki-laki. Kau menghadapi semuanya dengan sikapmu yang jantan. Itulah yang masih ada padamu satu-satunya. Kejantanan”

Sura masih tetap berdiam diri. Ia mengangkat wajahnya sebentar ketika Pangeran Ranakusuma kemudian berpaling kepada Ki Dipanala, “Dipanala. Persoalanmu agak berbeda dengan Sura. Jika kau bersedia minta maaf kepadaku dan kepada Rudira. kau akan dibebaskan dari segala tuntutan”

Pertanyaan itu telah mendebarkan dada Sura. Jika Dipanala sekedar minta maaf, dan kemudian dilepaskan tanpa menghiraukan dirinya, maka sadarlah ia bahwa sebenarnya Dipanala telah menjebaknya sehingga ia tidak melawan sama sekali ketika kedua tangannya diikat.

Tetapi jawaban Dipanala benar-benar mengejutkannya, “Tuan. Hamba tidak bersalah. Karena itu hamba tidak akan mohon maaf kepada siapapun juga”

“Dipanala” tiba-tiba saja wajah Ranakusuma menjadi tegang.

“Hamba hanya sekedar mencoba meluruskan jalan yang dilalui oleh Raden Rudira terhadap Arum, anak gadis Kiai Danatirta. Apakah hal itu sudah cukup kuat dipergunakan sebagai alasan untuk menyebut pengkhianat dan mengikat hamba di sini?”

“Kenapa kau ikut mencampuri persoalan ini?”

“Barangkali hamba memang suka mencampuri persoalan orang lain. Bukan baru kali ini hamba mencampuri persoalan penghuni Dalem Ranakusuman ini”

“Cukup” tiba-tiba Raden Ayu Galihwarit berteriak memotong. Semua orang berpaling kepadanya. Bahkan Pangeran Rana-kusuma memandangnya dengan heran. Apalagi Raden Rudira.

Namun Raden Ayu Galihwarit segera menyadari keadaannya sehingga ia berkata seterusnya, “Kau tidak usah mengigau. Seandainya kau memang pernah mencampuri urusan orang lain pula, aku tidak peduli. Tetapi aku minta kau jangan mencampuri persoalan anakku”

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang peristiwa-peristiwa yang suram yang terjadi di dalam halaman istana Ranakusuman ini. Namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepada penilaian tuan. Tetapi hamba dan kawan hamba ini tidak bersalah. Jika hamba akan dihukum, maka sudah tentu hamba tidak akan mau mengalami derita seorang diri atau hanya berdua dengan kawan hamba ini”

Raden Ayu Galihwarit menggigit bibirnya. Namun wajah Pangeran Ranakusuma pun menjadi tegang.

“Jangan hiraukan orang itu ayahanda” berkata Raden Rudira kemudian, “Aku akan memanggil para pengiring besok setelah matahari terbit. Aku dapat menghukum keduanya dengan cara yang paling menarik, selain hukum picis”

“Apa yang dapat kau lakukan Rudira?”

“Macam-macam sekali ayah. Aku dapat membakar dua potong besi sehingga membara. Jika ujung-ujung besi itu tersentuh mata keduanya, maka akibatnya akan dapat dibayangkan”

Terasa bulu-bulu tengkuk Raden Ayu Galihwarit meremang. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Pangeran Ranakusuma telah mendahului, “Rudira. Kita hidup pada jaman peradaban. Kita bukan lagi orang-orang liar yang dapat dengan sekehendak hati kita memperlakukan sesama manusia”

Rudira menjadi heran mendengar kata-kata ayahnya. Ayahnya tentu tahu, bahwa ia tidak akan memperlakukan kedua orang itu seperti yang dikatakan. Tetapi ia benar-benar akan mendera keduanya dengan cambuk atau rotan.

Belum lagi keragu-raguan itu mereda, tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma berkata, “Lepaskan Dipanala”

Kata-kata itu benar-benar telah mendebarkan jantung Raden Rudira. Namun selain Rudira, Sura pun menjadi berdebar-debar pula. Perintah Pangeran Ranakusuma hanya berlaku bagi Dipanala. Tetapi tidak berlaku baginya.

Namun ternyata Dipanala bertanya, “Apakah aku akan dilepaskan sendiri?”

“Ya, kau akan dilepaskan atas perintahku. Kau sudah lama sekali tinggal di rumah ini. Karena itu, aku masih juga mempunyai perasaan iba”

“Tuan” berkata Dipanala, “Masa pengabdianku dan Sura tidak terpaut banyak. Karena itu, hamba mohon agar Sura juga mendapatkan kesempatan seperti hamba”

“Gila” bentak Pangeran Ranakusuma, “Aku hanya memaafkan engkau. Itu tergantung atas kehendakku”

“Jika tuan tidak berbuat adil, maka biarlah hamba pun mengalami perlakuan seperti yang akan dialami Sura. Hamba pun tidak berkeberatan mengalami dera dengan cambuk atau rotan seratus kali pada badan hamba”

“Dipanala. kau jangan berbuat bodoh dan gila. Aku tidak mau berbuat lain kecuali mengampuni kau meskipun Rudira tidak setuju. Sedang Sura, bagiku bukan seseorang yang aku perlukan lagi”

“Tuan, soalnya bukan diperlukan atau tidak diperlukan. Soalnya aku dan Sura dapat dianggap berbuat kesalahan yang sama”

“Tidak. Jauh berbeda” sahut Raden Rudira, “meskipun aku ingin menghukum kalian berdua, namun sebenarnya kesalahan Sura jauh lebih besar dari kesalahanmu. Sura dengan tegas menentang kehendakku. Ia berani melawan Mandra yang bertindak atas namaku”

Dipanala mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Tergantung kepada Pangeran. Tetapi hamba mohon Sura juga dilepaskan”

“Tidak. Jika ayahanda ingin memaafkan kau Ki Dipanala, aku masih dapat mengerti, karena selama ini kau nampaknya mempunyai pengaruh atas ayahanda. Tetapi tidak dengan Sura. Ia benar-benar sudah berkhianat. Bukan saja dengan angan-angan. tetapi sudah dilakukan dengan perbuatan”

“Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma, “Kau hanya mempunyai dua pilihan. Menjalani hukuman bersama Sura, atau kau mohon maaf dan aku lepaskan”

“Hamba memang mempunyai dua pilihan. Dilepaskan bersama-sama atau harus menjalani hukuman bersamanya. Perbedaan hukuman dan pengampunan sama sekali tidak adil. Dan hamba pun sama sekali tidak berbuat kesalahan menurut hemat hamba”

Raden Rudira menggeretakkan giginya. Katanya, “Aku akan menghukum kedua-duanya, “

Sejenak Pangeran Ranakusuma termenung. Ketika ia berpaling memandang isterinya, tampaklah betapa ketegangan yang memuncak membayang di wajahnya.

“Apakah pertimbanganmu?” tiba-tiba Pangeran Ranakusuma bertanya.

Raden Ayu Galihwarit mendapatkan kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu, sehingga karena itu Pangeran Ranakusuma mendesaknya, “Apa yang baik kita lakukan sekarang?”

Tubuh ibunda Raden Rudira itu menjadi gemetar. Disela-sela deru nafasnya ia berkata, “Yang manapun yang baik menurut kakanda”

Dipanala menjadi berdebar-debar juga. Memang ia mempunyai keuntungan dengan sikapnya. Tetapi kemungkinan yang lain justru pahit sekali. Baik Pangeran Ranakusuma, maupun Raden Ayu Galihwarit dapat memerintahkan untuk segera membunuhnya, agar mulutnya tidak lagi dapat mengucapkan kata-kata.

“Jika demikian yang terjadi, apaboleh buat. Tetapi aku pasti masih mempunyai kesempatan untuk berteriak meskipun hanya beberapa kata. Dan yang beberapa kata itu akan membawa Pangeran Ranakusuma suami isteri untuk bersama-sama mengalami kenyerian yang tiada taranya meskipun berbeda bentuknya.

Namun Pangeran Ranakusuma tidak segera berbuat sesuatu, ia masih berdiri saja mematung memandang Dipanala yang terikat itu. Sekali-sekali dipandanginya pula wajah Sura yang tegang.

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Keduanya adalah abdi yang termasuk paling lama bekerja di Ranakusuman. Tetapi Sura bagi Pangeran Ranakusuma tidak lebih dari benda-benda mati. Jika ia tidak terpakai lagi, maka apa salahnya jika ia dibuang.

Tetapi agaknya tidak demikian dengan Dipanala. Namun karena itu, Dipanala menjadi lebih tidak disukai lagi. Bahkan memang terlintas di angan-angan Pangeran Ranakusuma, “Kenapa orang ini tidak segera mati saja?”

Selagi Pangeran Ranakusuma termangu-mangu, maka Raden Rudira berkata, “Serahkan kepadaku ayahanda. Mungkin ayahanda tidak akan sampai hati karena orang-orang ini sudah terlalu lama berada dan mengabdikan diri kepada ayahanda. Tetapi penghinaan yang diberikan kepadaku sepantasnya untuk diperhitungkan sebaik-baiknya. Dan aku tidak berkeberatan sama sekali untuk melakukannya.

Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi semakin tegang. Keringat dingin mulai mengalir di punggung dan tengkuknya.

Raden Rudira menjadi heran melihat sikap ayahandanya. Bahkan sikap ibundanya Galihwarit. Seakan-akan ada sesuatu yang menghantui mereka berdua, sehingga mereka berdua tidak segera berani mengambil suatu sikap terhadap Dipanala.

Setelah mengalami perjuangan yang berat di dalam jantungnya, tiba-tiba dengan suara gemetar Pangeran Ranakusuma berkata kepada anaknya, “Lepaskan mereka”

“Ayahanda” Raden Rudira hampir berteriak, “Mereka telah menghina aku. Sura terlebih-lebih lagi. Ia menghina aku di Sukawati dan kemudian di padepokan Jati Aking. Apakah ia harus dilepaskan?”

Terasa tubuh Pangeran itu menjadi semakin gemetar. Dipandanginya wajah Dipanala yang tenang. Lalu ia pun menggeram, “Kau memang licik seperti setan, Dipanala. Tetapi jangan kau berharap bahwa lain kali kau dapat mempergunakan akal licikmu ini”

“Tuan” berkata Dipanala, “hamba sama sekali tidak ingin berbuat licik. Hamba hanya memohon agar tuan sudi mempertimbangkan untuk melepaskan kami, karena kami tidak bersalah. Sehingga karena itu maka kami berkeberatan untuk memohon maaf kepada Raden Rudira”

“Diam, diam kau” teriak Pangeran Ranakusuma yang menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar mulut Dipanala, sehingga wajah Dipanala terdorong dan membentur batang sawo. Namun kemudian dengan suara yang bergetar Pangeran Ranakusuma berkata, “Lepaskan mereka. Lepaskan setan-setan licik ini”

“Ayahanda”

“Lepaskan, lepaskan. Apakah kalian mendengar?”

Raden Rudira menjadi tegang. Apalagi ketika ia melihat beberapa orang berdiri termangu-mangu di kejauhan. Di antara mereka adalah Mandra.

Karena Rudira masih termangu-mangu, maka ayahandanya Pangeran Ranakusuma berteriak sekali lagi, “Lepaskan. Lepaskan, apakah kalian tuli he?”

Selagi Raden Rudira berdiri termangu-mangu, maka ibunya, Raden, Ayu Galihwarit mendekatinya sambil berbisik, “Jangan membantah perintah ayahanda, Rudira. Lepaskan. Kau tidak memerlukan keduanya”

Terasa kerongkongan Raden Rudira seperti tersumbat. Bahkan matanya terasa menjadi panas.

“Tetapi, tetapi . . “ ia masih akan berkata lebih banyak lagi. Namun dengan jari-jarinya ibunya menyentuh bibir puteranya sambil berkata pula, “Rudira, bukankah kau satu-satunya Putera ayahanda yang paling patuh? Nah, lepaskan mereka seperti yang diperintahkan oleh ayahanda”

Betapa kecewa menghentak-hentak dada Raden Rudira. Hampir saja ia berteriak dan menangis terlolong-lolong. Kekecewaan yang datang beruntun membuat hatinya serasa pecah. Dan kali ini ayahandanya dan ibundanya sendirilah yang membuatnya kecewa. Kecewa sekali, seperti saat ia gagal mengambil Arum.

“Ibu membiarkan aku pergi ke Jati Aking” suara Rudira terputus-putus, “Tetapi ibu membiarkan pula aku terhina”

“Bukan maksudku Rudira. tetapi sebaiknya kau melakukan perintah ayahanda”

Raden Rudira tidak dapat membantah lagi. Dengan mata yang menjadi merah, ia berteriak kepada pelayan dalam yang berdiri mematung, “Lepaskan, lepaskan”

Pelayan dalam itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia maju beberapa langkah dan melepaskan tali pengikat kedua orang itu pada batang-batang sawo di halaman itu.

Ketika tali-tali itu terlepas, maka Dipanala dan Sura hampir berbareng menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam Dipanala berkata, “Tuan, hamba mengucapkan beribu terima kasih”

“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma berteriak. Dipandangi-nya Dipanala dan Sura sejenak. Namun ia pun kemudian segera melangkah meninggalkan halaman depan itu kembali memasuki ruangan dalam istananya diikuti oleh isterinya.

Raden Rudira masih berdiri sejenak di halaman. Sorot matanya yang membara itu bagaikan menyala. Dengan suara gemetar ia berkata, “Dipanala, apakah kau dapat menyihir dan memaksa ayahanda mengambil keputusan itu lewat tatapan matamu?”

“Tidak tuan. Aku sama sekali tidak mengenal ilmu itu”

“Tetapi kau sanggup memaksa ayah melepaskan kau berdua. Tetapi jangan tertawa atas kemenanganmu kali ini. Kau tahu siapa Raden Rudira. Pada suatu saat, aku akan menebus semua kegagalanku sekaligus. Petani Sukawati, Arum dan kau berdua”

Dipanala tidak menyahut. Bahkan ditundukkannya wajahnya.

Dan Rudira masih berkata, “Dengan kemenanganmu sekarang ini ternyata telah mendekatkan kau ke jalan kematianmu. Kau harus tahu, bahwa aku sama sekali tidak dapat menerima keadaan serupa ini”

Dipanala masih tetap berdiam diri. iapun mengerti, betapa kecewa hati anak muda itu. Karena itu, ia tidak ingin membakarnya sehingga dapat menghanguskannya sama sekali.

Dalam pada itu di dalam istana, Pangeran Ranakusuma duduk dengan wajah yang suram. Isterinya, Raden Ayu Galihwarit berdiri bersandar bibir pintu biliknya.

“Kenapa kau kali ini bersikap lain?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Maksud Pangeran?”

“Kau biasanya terlalu memanjakan anakmu. Tetapi kenapa kali ini kau membenarkan sikapku?”

“Pertanyaan Pangeran sangat aneh” sahut isterinya, “bukankah aku berusaha untuk ikut memberikan bimbingan kepada Rudira, dan mendidiknya untuk mematuhi perintah ayahandanya”

Pangeran Ranakusuma tidak bertanya lagi. Terasa sesuatu yang lain pada sikap isterinya saat itu. Kenapa ia tidak justru memaksanya untuk menyerahkan Dipanala dan Sura kepada Rudira?

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak bertanya lagi. Apalagi ketika anak gadisnya terbangun pula dan datang mendekati ibunya, “Apa yang terjadi ibunda?”

“Tidak apa-apa sayang. Tidurlah”

“Saat apakah sekarang ini? Apakah masih belum pagi?”

“Belum. Hari masih malam”

“Tetapi kenapa ayahanda dan ibunda tidak tidur pula?”

“Kami terbangun karena keributan di halaman. Kakandamu Rudira sedang sibuk dengan hamba-hamba istana yang licik dan berkhianat”

“O, apakah kangmas Rudira sedang menghukum mereka”

“Ya”

“Aku akan melihatnya”

“Jangan, jangan” tiba-tiba Raden Ayu Galihwarit menangkap lengan anaknya. Kemudian dibimbingnya anak itu masuk ke dalam biliknya sambil berkata kepada Pangeran Ranakusuma, “Perkenankan aku menidurkan anak ini kangmas”

Pangeran Ranakusuma menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab sepatah kalapun.

Sepeninggal Raden Ayu Galihwarit, Pangeran Ranakusuma masih saja duduk di tempatnya. Terbayang sekilas beberapa peristiwa yang tidak akan dapat dilupakan. Dan peristiwa itulah yang memaksanya untuk tidak dapat membiarkan Dipanala menerima hukumannya, apabila ia tidak ingin terseret ke dalam kesulitan.

“Setan itu sebaliknya lekas mati. Aku akan segera berusaha memeras aku, tetapi pada suatu saat ia dapat berbahaya bagiku”

Tetapi melenyapkan Dipanala bukan suatu pekerjaan yang mudah. Pangeran Ranakusuma tahu benar, bahwa Dipanala adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Tetapi kini ia hampir tidak pernah bersikap dengan berlandaskan kepada kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun demikian, di dalam keadaan yang memaksa, maka Dipanala adalah seekor harimau yang garang.

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Harimau itu kini tampaknya menjadi jinak. Bahkan ia sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika Rudira dan pengiringnya mengikatnya pada pohon sawo. Apabila Dipanala dan Sura itu melakukan perlawanan, maka akibatnya seisi istana Kapangeranan ini akan terlibat. Untuk berhasil menundukkan kedua orang yang bekerja bersama itu, diperlukan waktu dan tenaga.

Dalam kebingungan itu Pangeran Ranakusuma melihat Raden Rudira memasuki biliknya tanpa berkata sepatah katapun. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya dengan kesalnya.

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak menghiraukannya. Ia masih tetap duduk sambil merenung.

Di bilik yang lain. Raden Ayu Galihwarit berbaring di sisi anak gadisnya. Sekali-sekali puterinya itu bertanya, namun. Raden Ayu Galihwarit selalu menghindar dan menjawab, “Tidurlah. Tidurlah”

“Sebentar lagi hari akan menjadi terang. Aku tidak dapat Tidur lagi ibu”

“Kalau begitu, ibulah yang akan tidur. Ibu terlalu lelah”

Puterinya tidak menyahut. Dibiarkannya Ibundanya berbaring diam disisinya. Tetapi ketika ia memandang wajah ibundanya dengan sudut matanya, ternyata mata Raden Ayu Galihwarit itu tidak terpejam.

Dalam pada itu. Raden Ayu Galihwarit yang memandangi atap biliknya itu benar-benar sedang digelisahkan oleh peristiwa-peristiwa yang beruntun terjadi. Namun yang paling menggelisahkannya adalah karena Dipanala sudah tersangkut pula di dalamnya.

“Setan itu memang licik” Ia berkata di dalam hatinya, “kenapa ia tidak mati saja”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam, sehingga desah nafasnya telah membuat puterinya berpaling. Tetapi gadis itu sama sekali tidak bertanya.

Persoalan yang diketahuinya itu agaknya telah dipergunakan-nya sebagai alat untuk menyelamatkan diri. Bahkan mungkin di saat-saat mendatang ia berbuat lebih berani lagi” Raden Ayu Ranakusuma itu meneruskan di dalam hati, “meskipun sampai saat ini ia belum pernah melakukan pemerasan, tetapi apakah hal itu pada suatu saat tidak terjadi?”

Raden Ayu Galihwarit itu pun menjadi heran, bahwa sikap Pangeran Ranakusuma tiba-tiba saja menjadi begitu lunak terhadapnya. Bahkan Pangeran Ranakusuma terpaksa menuruti permintaan Dipanala untuk melepaskan Sura pula.

“Pengaruh apa pula yang ada pada Dipanala terhadap kangmas Ranakusuma?”

Pertanyaan itu ternyata telah sangat mengganggunya. Jika tidak ada sesuatu yang menyebabkannya. Pangeran Ranakusuma tentu tidak akan berbuat sedemikian lunaknya terhadap Dipanala dan kepada Sura. Meskipun kadang-kadang Pangeran Rana-kusuma tidak sependapat dengan tingkah laku anak laki-lakinya. Tetapi ia jarang sekali mengurungkan keputusan yang sudah diambil oleh anak itu.

Namun kali ini. Pangeran Ranakusuma telah menggagalkan niat Raden Rudira untuk menghukum kedua orang itu. Mutlak.

Ketika Raden Ayu Galihwarit berpaling, dilihatnya puterinya telah tertidur nyenyak di sampingnya. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bangkit dan meninggalkan pembaringan itu.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam ketika dari celah-celah pintu ia masih melihat Pangeran Ranakusuma duduk termenung. Tetapi ia sama sekali tidak menyapanya, bahkan Raden Ayu Galihwarit itu pun langsung pergi ke pembaringannya sendiri.

Dalam pada itu, di halaman Sura masih berdiri termangu-mangu. Seperti bermimpi ia melihat orang-orang yang sudah siap untuk menghukumnya itu berlalu.

Sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Dipanala sejenak. Namun akhirnya ia tidak dapat menahan keinginannya untuk mengetahui, apakah sebabnya semuanya itu sudah terjadi.

“Apakah seperti kata Raden Rudira, kau sudah menyihirnya Ki Dipanala?” bertanya Sura.

Ki Dipanala memandang Sura sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menyahut, “Aku tidak mengenal ilmu itu”

Tetapi kenapa Pangeran Ranakusuma memenuhi permintaan-mu, bahkan melepaskan aku sekaligus”

Ki Dipanala mengangkat bahunya. Namun ia tidak menjawab.

“Dan yang lebih mengherankan lagi, karena Raden Ayu Sontrang itu kali ini tidak memaksakan kehendak anak laki-lakinya yang manja itu? Jika Raden Ayu Galihwarit itu mencoba menekan Pangeran Ranakusuma, jangankan aku dan kau, sedangkan isterinya yang lain telah disingkirkannya, dan bahan puteranya Raden Juwiring”

Dipanala tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Apakah sebabnya?” Sura mendesak.

Tiba-tiba saja Dipanala menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak begitu mengerti Sura. Tetapi aku masih mempunyai keyakinan bahwa kata-kataku masih juga didengar, justru oleh yang tua-tua. Tidak oleh Raden Rudira sendiri, karena ia belum mengenal aku sejauh-jauhnya”

“Tidak banyak yang mengenal kau ki Dipanala. Meskipun kita bersama-sama berada di rumah ini bertahun-tahun, tetapi aku masih juga tidak mengerti, apa yang sebenarnya telah kau lakukan terhadap isi istana ini, sehingga seakan-akan kata-katamu merupakan keputusan bagi mereka”

Sekali lagi Ki Dipanala menggeleng. Katanya, “Entahlah. Mungkin karena aku mereka anggap sebagai orang tua di sini. Atau barangkali karena aku sudah terlalu lama tinggal di rumah ini”

Sura memandang Dipanala dengan tatapan mata yang aneh. Namun seolah-olah Ki Dipanala itu diliputi oleh suatu rahasia yang tidak dapat diduganya.

Tetapi Sura tidak bertanya lagi. Ia mengerti, bahwa Ki Dipanala tidak akan mengata-kannya meskipun ia berulang kali mendesaknya.

“Yang harus kau ketahui Sura” berkata Ki Dipanala kemudian, “bahwa karena kata-kataku seakan-akan harus mereka dengar itulah, maka sebenarnya aku berada di ujung bahaya”

Sura menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia berkata, “Kau bagiku seperti bayangan di kegelapan. Aku tidak dapat melihat garis-garis bentukmu Ki Dipanala”

“Mereka lebih senang melihat aku mati daripada aku masih harus berbicara, karena kata-kataku ternyata masih harus mereka dengarkan”

“Aku menjadi semakin tidak mengerti. Tetapi Ki Dipanala tidak akan menjelaskannya kepadaku”

“Ya. Karena persoalannya memang tidak dapat dijelaskan”

Sura menarik nafas dalam-dalam.

“Sudahlah” berkata Ki Dipanala, “Marilah kita kembalikan kuda-kuda itu ke kandangnya”

Sura tidak menjawab. Diikutinya saja Ki Dipanala yang mengambil kudanya dan menuntunnya.

“Kita akan lewat regol depan”

Sura mengangguk. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah aku masih akan dapat masuk lagi?”

“Kau akan memasuki halaman ini bersamaku”

Sura mengangguk-anggukkan kepalanya.

Keduanya pun kemudian menuntun kuda-kuda mereka keluar halaman. Setelah mengitari dinding samping maka mereka pun memasukkan kuda itu di kandangnya, di halaman belakang rumah Ki Dipanala.

“Aku tidak mengerti Ki Dipanala, apakah sebaiknya aku tetap berada di Dalem Ranakusuman”

“Kau belum diusir. Tetapi jika kau ingin pergi, sebaiknya kau siapkan tempat baru itu, supaya keluargamu tidak terlantar”

“Tetapi jika terjadi sesuatu dengan aku di Dalem Rana-kusuman, apakah isteri dan anak-anakku harus menyaksikan-nya?”

Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya, ia dapat mengerti keberatan itu, sehingga katanya, “Memang, sebaiknya kau bawa keluargamu pergi. Tetapi kau harus minta diri kepada Pangeran Ranakusuma, selagi aku masih dapat berbuat sesuatu untuk keselamatanmu dan keluargamu. Jika sampai saatnya aku sendiri akan dipancung, maka semuanya sudah akan lewat. Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi”

Sura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bergumam, “Apakah aku dapat menghadap Pangeran Rana-kusuma untuk minta diri?”

“Aku akan mengusahakan. Dan itu harus terjadi segera, sebelum keadaan berubah. Mungkin aku sudah tidak diperlukan lagi atau mungkin aku sudah terbunuh”

“Lalu bagaimana dengan Ki Dipanala sendiri? Apakah Ki Dipanala tidak akan meninggalkan Dalem Ranakusuman?”

Ki Dipanala tidak segera menjawab. Sorot matanya memancarkan keragu-raguan. Namun kemudian ia menggeleng, “Sementara ini belum. Aku masih didengar oleh Pangeran Ranakusuma. Senang atau tidak senang”

“Tetapi apakah Ki Dipanala dapat mengetahui, sampai kapan Ki Dipanala akan mendapatkan kepercayaan itu, maksudku, bahwa kata-kata Ki Dipanala masih didengar oleh Pangeran Ranakusuma?”

Ki Dipanala menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu”

Keduanya pun kemudian saling berdiam diri sejenak. Namun Ki Dipanala kemudian berkata Sura, kita masih mempunyai kesempatan sedikit untuk beristirahat. Meskipun langit sudah menjadi merah, namun kita masih sempat tidur meskipun hanya sekejap dan kita akan bangun kesiangan”

“Apakah kita tidak kembali ke Ranakusuman?”

“Besok saja kita kembali ke Ranakusuman. Para penjaga regol itu akan menjadi jengkel, jika setiap kali kita minta mereka membuka pintu untuk kita”

Sura tidak menyahut. Diikutinya saja Ki Dipanala pergi ke serambi depan rumahnya yang tidak begitu besar.

“Kau dapat berbaring di amben ini. Aku tidak dapat mempersilahkan kau tidur di dalam, karena tidak ada lagi tempat”

“Dan kau?”

“Aku akan tidur di ketepe itu”

“Apakah anyaman belarak itu masih ada?”

“Untuk apa?”

“Aku juga lebih suka tidur di lantai, diatas ketepe belarak seperti kau”

Ki Dipanala termenung sejenak Namun kemudian ia pun mengetuk pintu rumahnya untuk mengambil tikar.

“He, apakah kita benar-benar tidak akan tidur di dalam?” bertanya Ki Dipanala kemudian, “meskipun hanya di lantai?”

“Aku akan tidur di luar saja”

Namun Ki. Dipanala pun kemudian berbaring juga diatas tikar pandan di samping Sura.

Ternyata Sura masih juga sempat tidur mendekur. Meskipun agak gelisah, tetapi ia masih sempat melepaskan ketegangan di dalam hatinya. Tidur adalah suatu pelepasan yang baik bagi orang-orang yang mengalami himpitan perasaan seperti Sura.

Tetapi Ki Dipanala sendiri sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia ternyata lebih gelisah dari Sura. Yang terbayang di dalam angan-angan Ki Dipanala justru karena ia masih juga mempunyai pengaruh yang mantap terhadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit.

Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar